|
Sejak 1 Mei 2006 Pengunjung : 136243 Hits : 1514520 hits Bulan Ini : 2113 users Hari Ini : 111 users Online : 3 users |
|
|
|
|
Antara Islam dan Politik - Bagian 2 Senin, 22 Mei 06 - oleh : Redaksi
PKS-Kab.Bekasi OnLine : Pertanyaan pertama yang timbul dalam konteks ini adalah: Apakah yang dianut sebagai prinsip dasar di dalam politik ? atau dengan kata lain, apa yang secara esensial termaktub di dalam politik? Terdapat dua pandangan mengenai kenyataan bahwa secara mendasar politik meletakkan dirinya pada masalah tentang hubungan antara individu dengan negara.
Pertanyaan pokok lain yang berasal dari masalah itu adalah:
Apa yang diperlukan bagi didirikannya sebuah negara?
Siapa yang akan menempati puncak administrasi dan pemerintahan, serta siapa yang akan merumuskan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; atau dengan kata lain, siapa yang berwenang untuk menentukan kekuasaan tertinggi dan, jika mungkin, bagaimana bentuknya?
Peraturan apakah yang bisa mengatur sikap tunduk individu, kesetiaan dan kepatuhannya kepada negara?
Apakah yang menjadi tujuan negara, dan apakah dasar karakteristiknya?
Pertama-tama yang harus diperhatikan bahwa segi terpenting yang diajarkan Al-Qur'an kepada kita adalah bahwa Allah merupakan pencipta alam semesta. Karena itu Dialah yang memiliki kedaulatan tertinggi. Suatu studi yang mendalam terhadap Al-Qur'an akan menunjukkan secara jelas bahwa raja-raja dan penguasa-penguasa autokratik sebelum kedatangan Islam tidak menolak missi para Nabi yang menyerukan keesaan Allah dan keberadaan-Nya sebagai pencipta alam semesta. Berbagai ayat Al-Qur'an menerangkan perihal ini, misalnya surat Al-Ankabut (29:61) menyatakan pengakuan manusia pada umumnya akan adanya Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta yang berkuasa atas perputaran matahari dan rembulan, tetapi mereka tersesat.
Sekalipun para politeis mempercayai Allah sebagai pencipta, tetapi pokok persoalan yang menyebabkan mereka membangkang adalah pernyataan para Rasul yang menekankan bahwa Allah bukan hanya Pencipta tetapi juga Penguasa. Dengan kata lain, sementara orang-orang politeis itu memandang Allah sebagai Pencipta, mereka tetap masih merasa mempunyai hak untuk memerintah dan berkuasa. Sebaliknya, risalah-risalah para Rasul menyatakan bahwa dunia ini bukan hanya sebagai ciptaan-nya, tetapi sekaligus juga berada di bawah kekuasaan-Nya. Dengan kata lain, kebenaran Tauhid terletak pada kenyataan adanya Allah yang diakui sebagai Pencipta maupun Penguasa tanpa sekutu dari alam semesta.
Jika masyarakat mengakui kekuasaan Allah, sudah pasti bahwa masyarakat tersebut akan memenuhi ketentuan-ketentuan Islam. Sebaliknya, jika Allah dibenarkan sebagai Pencipta, tetapi Dia tidak diakui sebagai Pemegang kekuasaan mutlak yang tertinggi, maka hal ini sama saja dengan menyekutukan-Nya. Tauhid atau monoteisme mengajarkan bahwa dalam segala bidang kehidupan, kita harus mengikuti kehendak-Nya, baik Dia sebagai Pencipta maupun sebagai Penguasa.
Institusi negara
Agar persoalan ini menjadi jelas, kita akan mengalihkan dan mengarahkan perhatian kita pada pertanyaan yang sudah dikemukakan di atas, yaitu: Apakah yang diperlukan bagi didirikannya sebuah negara? Pertanyaan ini tidak menuntut perbincangan mengenai hal-hal yang tak lebih dari sekedar impian. Karena bagaimana mungkin sindikalisme atau anarkisme memperjuangkan suatu negara yang bukan negara?
Negara dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi yang mengatur aktivitas-aktivitas individu dalam hubungannya dengan masyarakat dimana negara itu bertindak sebagai kekuatan korektif melalui perangkat peraturan-peraturan dan hukum-hukum tertentu. Setiap masyarakat merasa memerlukan adanya suatu negara. Peraturan-peraturan negara tidak hanya memaksakan pengaruhnya terhadap masyarakat, tetapi juga terhadap individu, dan memang pada kenyataannya setiap individu membentuk dirinya sesuai dengan pola yang telah ditentukan negara tersebut.
Tanggung jawab pelaksanaan negara harus dibebankan pada seseorang. Ada tiga tipe orang yang bisa menjadi kepala negara. Tipe pertama, terdiri dari orang-orang yang kepada siapa tanggung jawab dilimpahkan melalui dinasti-dinasti. Tipe kedua, para despot yang sangat sadis dan megalomania, bahkan mereka sangat yakin bahwa tindakan-tindakannya selau benar serta selalu memaksakan kemauan dan kehendaknya melalui tindakan-tindakan tiranik.
Tipe ketiga, para penguasa yang melaksanakan haknya untuk memerintah negara atas nama-Nya. Penguasa tipe ini menyadari bahwa mereka hanyalah hamba-Nya. Perhambaan dan kepatuhan seperti ini mencapai puncaknya yang terbaik dalam diri Nabi umat Islam, baik sebagai hamba maupun sebagai Rasul. Dari wawasan seperti ini, bisa dinilai bahwa orang yang bertindak sebaliknya adalah seorang despot, perampas kekuasaan dan pendurhaka. Hal ini karena pembangkangannya tidak hanya meluas pada pembangkangan terhadap hukum Allah, tetapi juga menyebabkan timbul dan menyebarnya benih-benih perselisihan di muka bumi, meskipun secara temporer tindakan-tindakan mereka nampak bermanfaat.
Studi kesejarahan menyadarkan adanya kenyataan bahwa dominasi manusia atas manusia, apalagi jika tidak diawasi dan dikendalikan, akan selalu mengakibatkan timbulnya konflik dan perpecahan. Kenyataan ini tidak akan hilang dengan adanya peraturan hukum dari seseorang atau sebuah oligarki yang berkuasa. Ia justru akan meluas pada bangsa-bangsa lain.
Suatu bangsa (seperti halnya sebuah individu) akan merasa bahwa dialah yang lebih besar akan merasa lebih leluasa melaksanakan kehendaknya pada bangsa-bangsa yang lebih lemah. Pada akhirnya eksploitasi atas bangsa-bangsa yang lebih lemah menjadi sasaran yang tidak bisa ditolak. Kita menyaksikan beberapa negara terlibat dalam cara-cara kediktatoran. Terdapat juga beberapa negara lainnya dimana rakyat dikuasai oleh kepala negara yang merupakan boneka negara asing (xenophopic national states).
Semua fakta-fakta ini merupakan akibat dari terlenanya orang pada konsep kepemimpinan tak ber-Tuhan dimana wahyu digantikan oleh rasio, hukum-hukum Ilahi digantikan oleh hukum-hukum duniawi beserta ordinan-ordinannya yang disesuaikan dan dirancang demi tujuan-tujuan tertentu yang spesifik. Dalam keadaan seperti itu, seseorang yang secara sukses berhasil menghimbau emosi-emosi orang lain agar dia dipilih untuk menjadi pemimpin eksekutif suatu negara, kemudian diangkat pada status 'dewa', maka tirani dan pengerukan kekayaan merupakan konsekuensi-konsekuensi alami yang pasti terjadi.
Inilah kenyataan yang menggejala di sepanjang perjalanan sejarah yang menyebabkan timbulnya penderitaan umat manusia yang tak terperikan sehingga mereka tercabut dari hak-hak dasarnya sebagai manusia. Inilah pula kenyataan yang selalu berulang terjadinya, yang membuat kemajuan umat manusia selalu terhambat. Ini pulalah yang menggerogoti gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep intelektual yang cemerlang, kebudayaannya, dambaan-dambaannya, ide-ide politiknya, dan kesejahteraan ekonominya. Oleh karena itu, kita harus mengubah konsep-konsep yang berlaku sekarang ini mengenai otoritas final, kedaulatan dan kepemimpinan.
Kita akan melihat konsep-konsep Al-Qur'an yang berkenaan dengan hal itu. Di bawah ini kita akan mengutip empat ayat yang membicarakan konsep Islam mengenai kekuasaan dan kepemimpinan.
"Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia; itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak (mau) mengerti." (QS. Yusuf, 12:40).
"Mereka berkata: Apakah ada barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini? Katakanlah: Sungguh urusan ini seluruhnya di tangan Allah." (QS. Ali 'Imran, 3:154).
"Janganlah kamu mengatakan apa yang dinyatakan oleh lidahmu secara dusta: Ini halal dan ini haram! Dengan maksud mengada-adakan kebohongan terhadap Allah." (QS. An-Nahl, 16:116).
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah, 5:44; juga 5:45; dan 5:47).
Kita dapat mengambil kesimpulan dari ayat-ayat itu atau ayat-ayat lain yang senada bahwa bukan individu, keluarga, kelompok maupun asosiasi masyarakat, atau bahkan seluruh penduduk dari suatu negara yang dapat meng-klaim berdaulat atas suatu negara dengan merebut kedaulatan Allah. Kemudian, sepanjang menyangkut lembaga Legislatif (law-making), Al-Qur'an menyediakan sebuah framework dimana para penguasa dapat berperan, tetapi tidak berwenang untuk mengubah hukum dasar yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijabarkan Nabi.
Keberatan yang sering diajukan mengingat batasan-batasan itu nampaknya adalah bahwa hal itu berarti membelenggu kebebasan manusia. Tetapi, pertimbangan yang lebih mendalam akan menunjukkan kebalikannya, yaitu bahwa Allah menetapkan hukum-hukum-Nya itu dalam rangka agar manusia mengikuti petunjuk yang telah diatur sedemikian rupa bagi kepentingan manusia itu sendiri. Index Rubrik Tarbiyah | kirim ke teman | versi cetak Tidak ada komentar tentang artikel tarbiyah ini.
[ Back To Beranda ]
|
|
|
|
|
|