|
Sejak 1 Mei 2006 Pengunjung : 136246 Hits : 1515019 hits Bulan Ini : 2115 users Hari Ini : 114 users Online : 6 users |
|
|
|
|
Kedudukan Dan Hak Wanita - Bagian 2 Jumat, 19 Mei 06 - oleh : Redaksi
PKS-Kab.Bekasi OnLine : Di tengah kegelapan yang menyelimuti dunia, bersinarlah wahyu Illahi di padang pasir Arabia dengan pesan yang menyegarkan, luhur dan universal bagi seluruh umat manusia: "Wahai manusia,bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menjadikanmu dari satu diri dan menjadikan daripadanya pasangannya (dari jenis yang sama) dan dari keduanya disebarkan-Nya laki-laki dan perempuan-perempuan yang banyak". (QS. 4:1).
Seorang sarjana Barat yang merenungkan ayat ini menyatakan: "Kiranya tak ada satu tekspun, yang lama ataupun yang baru, yang berbicara tentang kemanusiaan wanita dari segala segi dengan cara yang demikian ringkas, menawan, dalam dan orisinal seperti halnya firman Tuhan ini".
Menerapkan konsepsi yang luhur dan alamiah ini, Qur'an menyatakan: "Dialah (Allah) yang telah menciptakanmu dari satu diri dan dari padanya diciptakannya jodohnya agar ia merasa tenteram dengannya..." (QS. 7:189)
"Pencipta langit dan bumi: Dia telah menciptakan jodoh-jodoh bagimu dari antaramu sendiri". (QS.42:11)
"Dan Allah telah menjadikanmu untukmu jodoh yang sama sifatnya denganmu, dan dari jodohmu itu dijadikan-Nya bagimu anak cucu; dan menjadikan bagimu rizki yang baik-baik. Maka apakah mereka akan percaya kepada kebatilan dan ingkar kepada nikmat Allah?". (QS. 16:72)
Bagian selanjutnya dari tulisan ini menjelaskan posisi Islam mengenai kedudukan wanita di masyarakat dari berbagai seginya: spiritual, sosial, ekonomi dan politik.
Segi spiritual
Al-Qur'an mengemukakan bukti yang jelas bahwa kaum wanita sama kedudukannya dengan kaum laki-laki dalam pandangan Allah dalam batas-batas hak-hak dan tanggung jawabnya. Al-Qur'an menyatakan: "Setiap jiwa akan menjadi jaminan bagi perbuatan-perbuatannya". (QS.74:38)
Juga: "... Maka Rabb mereka menerima doa mereka (dan berfirman) : 'Aku tidak akan menghilangkan nilai perbuatan seorang diantaramu, baik laki- laki ataupun perempuan. Kamu semua berasal satu dari yang lain'". (QS.3:95)
"Siapapun yang berbuat kebaikan, laki-laki atau perempuan, dan ia beriman, sungguh akan Kami berikan kepadanya hidup yang baru - hidup yang baik dan suci - dan Kami akan memberi mereka pahala berdasarkan perbuatan- perbuatan mereka yang paling baik". (QS. 16:97; lihat juga QS. 4:124).
Menurut Al-Qur'an, wanita tidaklah disalahkan atas kesalahan Adam yang pertama. Adam dan Hawa keduanya bersalah atas ketidakpatuhan mereka pada Allah. Keduanya bertaubat dan keduanya diampuni Allah (QS. 2:36-37, 7:20-24). Bahkan kenyataannya, dalam satu ayat (QS.20:121) malahan Adam secara khusus disalahkan.
Dalam hal kewajiban-kewajiban agama, seperti shalat sehari-hari, puasa, membayar zakat dan haji, kaum wanita tidak berbeda dengan laki-laki. Malah dalam beberapa keadaan kaum wanita lebih beruntung dari pada laki-laki. Misalnya, wanita dibebaskan dari shalat dan puasa selama masa menstruasi dan sampai empat puluh hari setelah melahirkan. Ia juga dibebaskan dari puasa selama hamil dan menyusui bayinya. Apabila puasa yang ditinggalkannya adalah puasa wajib (puasa bulan Ramadhan), maka ia dapat menggantinya kapan saja ia punya kesempatan. Tetapi ia tak wajib mengganti shalat yang ditinggalkannya karena sebab-sebab tersebut.
Pada masa hidup Nabi kaum wanita biasa pergi ke masjid, dan semenjak itu pula wanita yang pergi ke masjid untuk menghadiri shalat berjamaah pada hari Jum'at disunahkan (optional) bagi mereka, dan wajib bagi lak-laki. Ini jelas merupakan kelembutan ajaran-ajaran Islam yang mempertimbangkan kenyataan bahwa seorang perempuan mungkin sedang menyusui atau mengasuh bayinya, dan dengan demikian tak dapat pergi masjid pada waktu-waktu shalat. Ajaran-ajaran tersebut juga memperhitungkan perubahan-perubahan psikologis dan fisiologis yang berhubungan dengan fungsi-fungsi kewanitaannya yang alami.
Segi sosial
Sebagai seorang anak dan sebagai remaja.
Walaupun pembunuhan anak-anak perempuan pada jaman dahulu secara sosial dapat diterima di kalangan beberapa suku-suku Arab, namun Al-Qur'an melarang kebiasaan ini. Bahkan memandangnya sebagai tindak kriminal pembunuhan yang sama dengan pembunuhan-pembunuhan yang lain. "Dan bilamana (bayi-bayi) perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanyai, karena dosa apa mereka dibunuh". (QS.87:89)
Mengeritik sikap orang tua yang tak mau menerima anak-anak perempuan, Qur'an menyatakan: "Dan bila salah seorang diantara mereka mendapat berita tentang (kelahiran) seorang (anak) perempuan , mukanya menjadi gelap (merah padam) dan hatinya diliputi kesedihan. Dengan rasa malu ia menyembunyikan mukanya dari orang banyak karena berita buruk yang diperolehnya. Akankah dibiarkannya bayi itu tetap hidup dengan menanggung penderitaan dan cemoohan, ataukah dikuburkannya saja dalam tanah? Ah! Alangkah buruk (pilihan) yang mereka putuskan!" (QS. 16:58-59)
Jauh daripada sekedar menyelamatkan hidup anak perempuan dan membiarkannya hidup dalam derita ketidakadilan dan diskriminasi, Islam menuntut perlakuan yang baik dan adil terhadap anak perempuan. Diantara kata-kata Rasulullah saw mengenai hal ini adalah:
"Barangsiapa mempunyai seorang anak perempuan dan ia tidak menguburkannya hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak mengurangkan haknya dari anak laki-laki , maka Allah akan memasukkannya ke dalam sorga". (Ibn Hanbal, No. 1957)
"Barangsiapa mengasuh dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia dan aku akan berada pada hari pengadilan (akhirat) seperti ini (dan Nabi menunjukkan dua jarinya yang berjajar)".
Sebuah hadits yang sama menerangkan kondisi yang sama bagi seorang yang menghidupi dua saudara perempuan (Ibn Hanbal, No. 2104)
Hak kaum wanita untuk mencari ilmu tidak berbeda dengan laki-laki. Rasulullah Muhammad saw. berkata: "Mencari ilmu pengetahuan adalah wajib bagi setiap orang Islam" (Al-Baihaqi). Orang Islam di sini mencakup laki-laki dan perempuan.
Sebagai Istri
Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa perkawinan adalah kerja sama antara laki-laki dan perempuan, dua belahan anggota masyarakat, dan bahwa tujuan-tujuannya, di samping melestarikan kehidupan manusia, adalah menciptakan kesejahteraan emosional dan keserasian spiritual. Dasar perkawinan adalah cinta dan kasih sayang.
Di antara ayat-ayat Qur'an yang paling mengesankan tentang perkawinan adalah:
"Dan diantara ayat-ayat Nya ialah bahwa diciptakan-Nya jodoh-jodoh bagimu dari antaramu, agar kamu merasakan ketenteraman pada diri mereka; dan dijadikan-Nya rasa cinta dan kasih sayang diantaramu berdua. Sungguh, dalam hal ini terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang mau berfikir". (QS. 30:21)
Menurut hukum Islam, wanita tidak bisa dipaksa kawin dengan seseorang tanpa persetujuannya. Ibn 'Abbas meriwayatkan bahwa seorang gadis datang kepada Rasulullah Muhammad saw. dan mengadukan perihal ayahnya yang telah memaksanya kawin tanpa persetujuannya. Rasulullah memberinya pilihan (antara menerima atau membatalkan perkawinan itu) (Ibn Hanbal No. 2469). Dalam versi yang lain, gadis itu berkata: "Sebenarnya saya menerima perkawinan itu, tetapi saya ingin agar kaum wanita tahu bahwa orang tua tak punya hak (untuk memaksakan seorang suami bagi mereka)". (Ibn Majah, No. 1873)
Di samping ketentuan-ketentuan untuk melindungi kaum wanita dalam hal perkawinan, secara khusus ditetapkan pula bahwa wanita berhak atas mahar-nya, yaitu hadiah perkawinan yang diberikan kepadanya oleh suaminya dan termasuk dalam perjanjian perkawinan, dan bahwa hak pemilikan seperti itu tidak dapat dipindahkan kepada ayah ataupun suaminya. Konsep mahar dalam Islam bukanlah menunjukkan harga sebenarnya ataupun simbolisasi nilai wanita yang bersangkutan, seperti halnya kebudayaan-kebudayaan tertentu, akan tetapi merupakan hadiah dari calon suami yang melambangkan cinta dan kasih sayang.
Peraturan-peraturan kehidupan berkeluarga dalam Islam adalah jelas dan sesuai dengan watak manusia yang adil dan jujur. Dengan menimbang sifat psikologis laki-laki dan perempuan, keduanya diberi hak-hak yang sama terhadap satu sama lain , kecuali dalam satu tanggung jawab, yakni tanggung jawab kepemimpinan. Ini adalah hal yang wajar dalam kehidupan bersama di manapun juga dan konsisten dengan watak manusia. Al-Qur'an menyatakan: "Dan mereka (kaum wanita) mempunyai hak-hak yang sama dengan (hak-hak laki-laki) atas diri mereka, dan laki-laki berada satu derajat di atas mereka".(QS. 2:228)
Derajat lebih tersebut adalah qawamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini didasarkan kepada perbedaan alamiah antara kedua jenis makhluk tersebut, yang kuat memberikan hak perlindungan kepada jenis yang lebih lemah. Dan ini tak berarti adanya kelebihan atau keuntungan dalam hukum. Namun peranan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga tidaklah berarti kediktatoran suami atas istri. Islam menekankan pentingnya musyawarah dan persetujuan bersama dalam mengambil keputusan-keputusan keluarga. Qur'an memberi contoh kepada kita: "... Bila mereka (suami dan istri) ingin menyapih anaknya dengan persetujuan bersama dan (setelah diadakan) musyawarah, maka tidaklah ada kesalahan atas mereka...". (QS. 2:233)
Di atas hak-hak pokoknya sebagai istri, wanita punya hak yang ditekankan oleh Qur'an dan di dukung kuat oleh pernyataan Rasulullah saw., yakni perlakuan dan pergaulan yang baik. Al-Qur'an menyatakan: "... Dan pergaulilah mereka dengan baik, karena apabila kamu tidak menyukai mereka, maka mungkin sekali kamu tidak menyukai sesuatu (pada diri pasanganmu), tetapi Allah telah memberikan kebaikan yang banyak (pada sisi yang lain)". (QS. 4:19)
Rasulullah Muhammad saw, berkata: "Yang paling baik diantaramu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik diantaramu terhadap keluargaku".
"Orang yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling baik budi pekertinya dan yang paling baik diantaramu ialah yang yang paling baik terhadap istrinya". (Ibn Hanbal, No. 7396)
"Lihatlah banyak wanita datang kepada istri-istri Muhammad, mengadukan suami-suami mereka (karena memukul mereka)... mereka itu (suami-suami) bukanlah yang paling baik diantaramu".
Tentang hak wanita untuk membuat keputusan tentang perkawinannya, ini diakui. Demikian pula haknya untuk mencari penyelesaian bagi perkawinan yang tidak sukses. Tetapi demi kestabilan keluarga, dan untuk melindunginya dari akibat keputusan yang tergesa-gesa yang dilakukan karena penaruh emosi, maka beberapa langkah serta masa tunggu yang tertentu harus ditaati oleh pasangan suami istri yang mau bercerai.
Dengan mempertimbangkan sifat wanita yang relatif lebih emosional, maka alasan yang kuat pun untuk menuntut cerai harus diajukan kepada hakim. Tetapi sebagaimana suami, istri bisa menceraikan suaminya tanpa sidang pengadilan, apabila perjanjian perkawinan mengizinkan hal tersebut. Lebih khusus lagi, beberapa segi dari hukum Islam yang menyangkut perkawinan dan perceraian adalah sangat menarik dan patut dibahas secara terpisah.
Apabila karena sesuatu alasan, hubungan perkawinan tak mungkin diteruskan, maka suami masih dianjurkan untuk mencari penyelesaian yang halus. Al-Qur'an menyatakan tentang kasus seperti itu: "Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, dan mereka telah selesai menjalani masa tunggu yang ditentukan, maka ambillah mereka kembali dengan baik-baik, atau ceraikanlah dengan baik-baik, dan janganlah kamu ambil kembali mereka dengan maksud untuk menyakiti hati mereka hingga kamu melampaui batas". (QS. 2:231) (Lihat juga 2:229 dan 33:49)
Sebagai Ibu
Islam memandang kebaikan kepada kedua orang tua hanya berada satu derajat di bawah penyembahan kepada Allah. "Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah sesuatupun selain Dia, dan agar kamu berbuat baik kepada kedua orang tua..." (QS. 17:23)
Lebih dari itu, Qur'an secara khusus menyuruh untuk memperlakukan ibu dengan cara yang baik: "Dan Kami telah memerintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya: ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah..." (QS. 31:14) (lihat juga 46:15, 29:8)
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: "Wahai utusan Allah, siapa yang paling berhak kuperlakukan dengan baik dari seluruh manusia? Nabi menjawab: "Ibumu", orang itu bertanya lagi: 'kemudian siapa lagi?'. Nabi menjawab: "Ibumu". Orang itu bertanya lagi: 'Kemudian siapa lagi?. Nabi menjawab lagi: "Ibumu". Orang itu masih bertanya lagi:'Kemudian siapa lagi?'. Barulah Nabi menjawab: "Ayahmu". (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Nabi yang terkenal ialah: "Sorga terletak di bawah telapak kaki ibu". (Dalam Al-Nasai, Ibn Majah, Ibn Hanbal) "Termasuk sifat yang baik adalah berlaku baik kepada kaum wanita, dan hanya orang jahatlah yang menghina mereka".
Segi Ekonomi
Islam menetapkan satu hak yang tidak dimiliki kaum wanita baik sebelum atau sesudah Islam (bahkan sampai abad ini), yaitu hak pemilikan yang bebas. Menurut hukum Islam, hak seorang wanita atas uangnya, tanah dan kebunnya, atau harta benda lainnya, diakui. Hak ini tidak berbeda apakah wanita yang bersangkutan sudah kawin atau belum.
Ia berhak untuk membeli, menjual, menggadaikan atau menyewakan sebagian atau seluruh harta miliknya. Dalam hukum Islam tidak ada sesuatupun yang menyatakan bahwa kaum wanita adalah warga 'minoritas' semata-mata karena mereka adalah wanita. Patut dicatat bahwa hak seperti itu berlaku atas harta miliknya yang dipunyainya sebelum ia kawin dan juga harta yang diperolehnya sesudah ia kawin.
Tentang hak wanita untuk mencari nafkah, pertama-tama perlu dinyatakan bahwa, peran wanita yang di masyarakat berkarir sebagai seorang ibu dan istri adalah sebagai peranan yang paling suci dan essensial. Pembantu-pembantu rumah tangga ataupun babysitter-babysitter tak mungkin bisa menggantikan peranan ibu sebagai seorang pendidik dari anak yang diharapkan memiliki sifat jujur, bebas dari penyakit kompleks kejiwaan dan terdidik baik. Peranan yang luhur dan vital seperti itu, yang sangat menentukan corak bangsa di masa depan, tak bisa dianggap remeh.
Namun demikian, tidak ada ajaran Islam yang melarang seorang wanita mencari nafkah apabila hal itu memang diperlukan, terutama pekerjaan-pekerjaan yang cocok dengan sifatnya dan pada posisi-posisi di mana mereka paling diperlukan oleh masyarakat. Contoh pekerjaan seperti itu misalnya: perawat, guru (terutama guru anak-anak) dan tenaga medis. Tambahan pula, tidak ada pembatasan dalam mengambil manfaat dari bakat luar biasa dari seorang wanita dalam bidang apapun. Bahkan untuk jabatan hakim, sarjana-sarjana muslim yang awal, seperti Abu Hanifah dan Al-Thabari berpendapat bahwa hal itu tak ada salahnya.
Sebagai tambahan, Islam mengembalikan kepada kaum wanita hak mereka untuk menerima warisan. Bagian yang mereka terima dari warisan adalah hak mereka sepenuhnya, dan tak seorangpun dapat menuntutnya, termasuk ayah dan suaminya. "Bagi laki-laki ada bagian dari warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan famili dekat, dan bagi wanita ada bagian warisan yang ditinggalkan oleh orangtua dan famili dekat, baik sedikit ataupun banyak suatu bagian yang ditentukan". (QS. 4:7)
Dalam kebanyakan kasus, bagian wanita adalah setengah bagian laki-laki, yang tak berarti bahwa nilai wanita adalah setengah nilai laki-laki. Akan tak konsisten sekali untuk menyimpulkan begitu setelah dikemukakan bukti-bukti yang melimpah tentang perlakuan Islam yang tak membedakan antara laki-laki dan wanita. Perbedaan dalam bagian warisan ini adalah konsisten dengan perbedaan tanggung jawab finansial laki-laki dan wanita menurut hukum Islam.
Dalam Islam laki-laki bertanggung jawab sepenuhnya untuk menghidupi istri dan anak-anaknya, dan dalam babarapa hal juga kerabatnya yang miskin, terutama kaum wanitanya. Tanggung jawab ini tidaklah hilang atau berkurang karena kekayaan harta benda istrinya ataupun karena istrinya mempunyai penghasilan sendiri dari pekerjaannya, atau hasil sewaan, keuntungan, atau sumber-sumber lain yang sah.
Sebaliknya, kaum wanita secara finansial adalah jauh lebih terpelihara dan jauh lebih sedikit dibebani dengan sesuatu tuntutan terhadap harta miliknya. Hak miliknya sebelum perkawinan tidak berpindah kepada suaminya, bahkan ia tetap berhak memakai nama gadisnya (meiden name) yang dipakainya sebelum ia kawin. Ia tak punya kewajiban untuk membelanjai keluarganya dari harta miliknya ataupun penghasilannya sesudah ia kawin. Ia berhak memperoleh mahar yang diterimanya dari suaminya pada waktu perkawinan. Bila ia diceraikan, ia dapat memperoleh uang tunjangan (alimony) dari bekas suaminya.
Peninjauan terhadap hukum warisan dalam keseluruhan kerangka hukum Islam akan mengungkapkan tidak hanya keadilan, tapi juga rasa kasih yang besar terhadap kaum wanita.
Segi Politik
Penyelidikan yang jujur terhadap ajaran-ajaran Islam atau sejarah peradaban Islam pasti akan menemukan bukti yang jelas akan persamaan derajat antara laki-laki dan wanita dalam hal apa yang sekarang kita sebut 'hak-hak politik'. Hak-hak ini meliputi hak memilih serta hak dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan politis termasuk, hak-hak untuk berperan serta dalam masalah-masalah umum kemasyarakatan. Baik dalam Qur'an maupun dalam sejarah Islam kita dapati contoh-contoh wanita yang berperan serta dalam pembicaraan-pembicaraan penting dan bahkan beradu argumentasi dengan Nabi saw.
Dalam kasus desersi dan membelotnya para wanita mu'min dari wilayah kekuasaan Kufar ke wilayah kekuasaan Muslim, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memberikan 'hak-hak politik' yang sepadan dengan laki-laki dan proporsional.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita beriman, maka hendaknya kamu uji mereka. Allah lebih mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan kepada mereka (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan peremp;uan-perempuan kafir; dan hendaknya kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Demikianlah hukum Allahg yang ditetapkannya diantara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Dan jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang mereka bayar. Dan bertaqwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman.
Hai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita beriman untuk berbai'at (memberikan janji setia) kepadamu, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah bai'at (janji setia) mereka, dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. 60:10-12).
Sementara, dalam kasus gugatan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa'labah terhadap suaminya yang bertindak semena-mena kepadanya, yang diajukan kepada Rasulullah saw; Allah swt memberikan pembelaan-Nya kepada wanita itu dengan menurunkan ayat-ayat-Nya pada pembuka sebuah Surah dalam Al-Qur'an, sebagai jawaban atas kasus tersebut. Bahkan nama Surah-nya pun: Al-Mujaadilah (Wanita yang mengajukan gugatan).
"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar adu argumentasi (hiwar) antara kamu berdua. Sesaungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. 58:1).
Dalam masa pemerintahan khalifah 'Umar Ibn al-Khaththab, seorang wanita beradu argumentasi dengan beliau di dalam masjid. Wanita itu mampu membuktikan pendapatnya, dan memaksa beliau menyatakan di depan orang banyak: "Wanita ini berada di pihak yang benar, dan Umar di pihak yang salah".
Walaupun tidak disebutkan dalam Qur'an, namun penafsiran atas salah satu hadits Nabi saw menyatakan bahwa wanita tidak bisa mencalonkan diri untuk jabatan kepala negara. Hadits tersebut berbunyi: "Suatu bangsa tidak akan maju bila mereka mengangkat wanita sebagai pemimpinnya". Akan tetapi pembatasan ini tidak ada hubungannya dengan harga diri wanita atau hak-haknya. Lebih tepat dikatakan, hal ini berhubungan dengan perbedaan-perbedaan alamiah dalam susunan biologis dan kejiwaan wanita dan laki-laki.
Menurut Islam, kepala negara bukanlah semata-mata tokoh figur saja. Ia adalah pemimpin orang banyak dalam shalat, terutama pada hari-hari Jum'at dan hari-hari besar. Ia terus-menerus terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Kedudukan yang penuh tuntutan berat ini, atau kedudukan apa pun yang serupa, seperti misalnya Panglima Angkatan Bersenjata, pada galibnya tidak sesuai dengan sifat psikologis, fisiologis dan biologis kaum wanita pada umumnya.
Fakta medis menyebutkan, selama menstruasi bulanan dan selama masa kehamilan, wanita mengalami perubahan-perubahan fisiologis dan kejiwaan. Perubahan-perubahan seperti itu bisa saja terjadi dalam saat-saat darurat yang mendesak, dan karenanya akan mempengaruhi keputusan-keputusannya. Ketegangan yang berlebihan selama masa-masa tersebut juga mempunyai akibat-akibat lain. Tambahan pula, beberapa keputusan tertentu menuntut penggunaan akal fikiran yang maksimal dan hanya menuntut penggunaan perasaan secara minimal, suatu tuntutan yang tidak sejalan dengan watak kaum wanita.
Bahkan dalam zaman modern, di negara-negara maju sekalipun, jarang kita menemukan wanita yang menduduki posisi sebagai kepala negara yang bertindak lebih dari sekedar seorang figur saja, seorang panglima militer wanita, atau bahkan jumlah proporsional wakil-wakil wanita dalam parlemen atau badan-badan serupa, walaupun telah diberi kesempatan yang sama. Tak mungkin kita mengatakan bahwa ini adalah akibat dari keterbelakangan bangsa-bangsa, atau karena pembatasan konstitusional atas hak-hak wanita untuk menduduki jabatan-jabatan seperti kepala negara atau sebagai anggota parlemen. Lebih masuk akal untuk menjelaskan situasi demikian dalam batas-batas perbedaan alamiah yang tak diperselisihkan lagi antara laki-laki dan wanita, suatu perbedaan yang menyiratkan "supremasi" apa pun dari yang satu atas yang lain. Lebih tepat dikatakan, perbedaan tersebut menyiratkan peranan yang bersifat saling melengkapi dari kedua jenis kelamin tersebut dalam kehidupan manusia.
Penutup
Bagian pertama dari tulisan ini secara singkat membahas posisi berbagai agama dan kebudayaan dalam masalah kedudukan dan hak-hak kaum wanita. Sebagian dari pembahasan tersebut mencakup kecenderungan umum sampai abad ke-19, hanya 1300 tahun setelah Qur'an mengemukakan ajaran-ajaran Islam.
Pada bagian kedua dibahas secara singkat kedudukan wanita dalam Islam. Penekanan pada bagian ini diletakkan pada sumber-sumber Islam yang otentik dan asli. Sumber-sumber tersebut menampilkan standar yang menjadi ukuran kepatuhan kaum muslimin terhadap ajaran-ajaran Islam. Juga merupakan kenyataan, bahwa selama beberapa waktu dalam masa-masa kemunduran kita, ajaran-ajaran itu tidak dilaksanakan secara konsekwen oleh banyak orang yang mengaku sebagai orang-orang Muslim.
Penyimpangan seperti itu secara tidak adil telah dilebih-lebihkan oleh beberapa penulis, dan penyimpangan-penyimpangan paling buruk telah diambil wujud luarnya saja untuk menyuguhkan ajaran-ajaran Islam kepada khalayak pembaca Barat dan juga Timur, tanpa usaha sedikitpun untuk melakukan studi yang orisinal dan tak bias pada sumber-sumber yang otentik dari ajaran-ajaran tersebut. Namun sekalipun dengan adanya penyimpangan-penyimpangan seperti itu, tiga fakta patut disebutkan.
Sejarah umat Islam penuh dengan wanita-wanita yang berprestasi tinggi dalam seluruh lapangan kehidupan sejak dari abad ke-7 M.
Siapa pun tak mungkin membenarkan perlakuan yang buruk macam apa pun terhadap kaum wanita dengan sesuatu keputusan yang tercantum dalam hukum Islam, tidak seorang pun yang berani membatalkan, mengurangi atau mendistorsi hak-hak sah kaum wanita yang tercantum dalam hukum Islam.
Sepanjang sejarah, reputasi, kesucian dan peranan keibuan kaum wanita Muslim telah menjadi objek kekaguman pengamat-pengamat yang tidak memihak.
Juga perlu dinyatakan bahwa kedudukan yang dicapai kaum wanita pada masa ini tidaklah dicapai karena kemurahan hati kaum laki-laki atau karena kemajuan yang alami. Lebih tepat, kedudukan ini dicapai melalui perjuangan yang panjang dan pengorbanan besar di pihak wanita, dan hanya dapat dicapai ketika masyarakat memerlukan sumbangan dan karya mereka, terutama selama kedua perang dunia, dan juga dikarenakan lajunya perkembangan teknologi.
Dalam kasus Islam, kedudukan kaum wanita yang luhur dan terkasih itu ditetapkan tidak karena hal itu mencerminkan lingkungan masyarakat pada abad ke-7, tidak pula karena ancaman atau tekanan kaum wanita dan organisasi mereka, tapi lebih tepat karena kebenarannya yang intrinsik.
Apabila hal ini menunjukkan sesuatu, maka itu adalah bahwa Qur'an memang berasal dari Allah dan kebenaran pesan Islam yang berbeda dari filsafat-filsafat dan ideologi-ideologi manusia, adalah sama sekali tidak bersumber dari lingkungan kemanusiaanya -suatu pesan yang menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang tak lapuk dimakan waktu selama berabad-abad ini, dan tidak akan lapuk dimasa yang akan datang nanti. Bagaimana pun juga, inilah pesan dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu yang kebijaksanaan dan pengetahuan-Nya jauh di luar batas yang bisa dijangkau oleh pemikiran dan kemajuan manusia. Wallahu a'lam bish-shawab.
Oleh : Ust.Syamsul Balda - ARsip Tim Kaderisasi Index Rubrik Tarbiyah | kirim ke teman | versi cetak Tidak ada komentar tentang artikel tarbiyah ini.
[ Back To Beranda ]
|
|
|
|
|
|