PK Sejahtera Kabupaten Bekasi
 
 

 
Beranda
Peta Situs
Tentang PK Sejahtera
Sejarah PK Sejahtera
Piagam Deklarasi
Visi dan Misi
Kebijakan Dasar
Keanggotaan
Rubrik

Interaktif
Download
Web Links
Buku Tamu
Kirim Artikel
Kontak Kami
Quran Online

Rubrik Utama
Info Keadilan
Kab. Bekasi & Jawa Barat
Parlementaria
Info DPD dan DPC/DPRa
Media Bicara PKS
Dunia Islam
MUSDA - 1

Rubrik Tarbiyah
Kaderisasi
Kisah & Hikmah
Imunitas Da'wah
Wanita & Keluarga
Tsaqafah
Samudera Hikmah
Bina Ruhul Jadid
Ulumul Qur'an

Pesan Singkat
Nama*
Email
Pesan*
  *harus diisi

Tools For Community
Who's Online Now
Statistik Situs

Statistik Situs
         Sejak 1 Mei 2006
Pengunjung : 136246
Hits : 1515017 hits
Bulan Ini : 2115 users
Hari Ini : 114 users
Online : 6 users

   


Kedudukan Dan Hak Wanita - Bagian 1
Jumat, 19 Mei 06 - oleh : Redaksi

PKS-Kab.Bekasi OnLine : Kedudukan wanita di masyarakat bukanlah suatu masalah yang baru, tapi juga bukan masalah yang sudah terselesaikan sepenuhnya. Posisi Islam dalam masalah tersebut selama ini telah disuguhkan kepada khalayak pembaca Barat, dan kemudian disosialisasi ke Timur (masyarakat Muslim), hampir-hampir dengan tanpa obyektifitas sama sekali. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan yang singkat namun otentik dengan pendirian Islam dalam hal kedudukan wanita. Ajaran-ajaran Islam pada intinya didasarkan pada Al-Qur'an (wahyu Allah) dan Hadits (penjelasan dari Rasulullah Muhammad saw.). Al-Qur'an dan Hadits, bila dipahami setepatnya dan tanpa pembiasan, akan merupakan sumber utama yang otentik tentang sesuatu posisi atau pandangan yang dinisbatkan kepada Islam.

Tulisan ini diawali dengan survei singkat tentang kedudukan wanita dalam masa pra-Islam, yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan pokok berikut ini: Bagaimana posisi Islam sehubungan dengan kedudukan wanita di masyarakat? Sampai di mana persamaan atau perbedaan posisi tersebut dengan "semangat zaman" yang dominan ketika Islam datang? Bagaimana hal ini bila dibandingkan dengan "hak-hak" yang akhirnya diperoleh kaum wanita dalam dasawarsa-dasawarsa belakangan ini?

Salah satu tujuan utama tulisan ini adalah memberikan penilaian yang adil atas sumbangan Islam terhadap pengembalian kehormatan kaum wanita dan hak-haknya. Untuk mencapai tujuan ini, mungkin ada gunanya untuk meninjau kembali dengan singkat bagaimana kaum wanita diperlakukan (pada umumnya) dalam peradaban-peradaban dan agama-agama sebelumnya, terutama agama-agama yang mendahului Islam (pra-610 M). Akan tetapi sebagian dari informasi yang dipaparkan di sini menjangkau penjelasan tentang kedudukan kaum wanita pada abad ke-20, lebih dari tiga belas abad setelah datangnya Islam.

Wanita-wanita dalam peradaban-peradaban lain.

Dalam menjelaskan kedudukan seorang wanita Hindu, yang memiliki otoritas dalam masalah ini menyatakan: "Di India perbudakan merupakan prinsip utama. Siang malam wanita dipandang oleh pelindung-pelindungnya sebagai dalam keadaan ketergantungan, demikian sabda Manu. Hukum pewarisan adalah agnatis, artinya menurut garis keturunan laki-laki saja, tanpa mengikut-sertakan perempuan" (The Encyclopaedia Britannica, CD.ROM, 1997). Dalam kitab-kitab suci Hindu, gambaran seorang istri yang baik adalah sebagai berikut: "Seorang wanita yang pikiran, pembicaraan, dan tubuhnya selalu dalam penyerahan, akan memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia ini, dan di dunia yang akan datang ia akan menempati tempat tinggal yang sama dengan suaminya".

Di Athena, nasib kaum wanita tidaklah lebih baik dari kaum wanita bangsa India atau Romawi. "Kaum wanita Athena selamanya adalah kaum rendahan, yang berada dalam kekuasaan kaum laki-laki - ayah, saudara laki-laki, atau sanak laki-laki tertentu".(Allen, E.A., History of Civilization, hal.444). Persetujuan dalam hal perkawinannya sendiri pada umumnya tidak dianggap perlu dan "dia diharuskan menurut pada kemauan orang tuanya, dan menerima suami dan tuannya dari mereka, walaupun suami itu belum pernah dikenalnya sebelumnya".(Ibid, hal.443).

Seorang istri bangsa Romawi, dilukiskan seorang ahli sejarah sebagai berikut: "seorang bayi, warga rendahan, seorang yang berada di bawah perlindungan seorang wali, seorang yang tak bisa melakukan sesuatu menurut selera pribadinya sendiri, seorang yang selalu berada di bawah perlindungan dan perwalian suaminya".(Ibid, 550).

Dalam Encyclopaedia Britannica, kita temukan ringkasan tentang kedudukan kaum wanita dalam peradaban Romawi: "Dalam hukum Romawi seorang wanita bahkan pada suatu masa sama sekali dalam suatu ketergantungan. Apabila ia kawin maka ia dan harta miliknya berpindah ke dalam kekuasaan suaminya.....Istri adalah milik belian suaminya, sebagaimana halnya seorang budak, ia dibeli hanya untuk kepentingan suaminya saja. Seorang wanita tidak bisa menduduki jabatan sipil atau jabatan-jabatan pada lembaga masyarakat umum... tidak bisa menjadi saksi, penanggung jawab, guru, ataupun kurator; ia tidak bisa memungut anak ataupun dipungut menjadi anak, tidak bisa membuat surat wasiat atau kontrak perjanjian".

Di kalangan suku-suku Skandinavia, kaum wanita berada: "di bawah penguasaan yang terus-menerus, baik sebelum maupun sesudah kawin. Sampai disusun Code of Christian V pada akhir abad ke-17, yang menetapkan bahwa apabila seorang wanita kawin tanpa persetujuan guru pribadinya, maka guru tersebut, kalau ia mau, dapat memperoleh hak untuk mengurus atau memanfaatkan harta milik wanita tersebut selama wanita itu masih hidup".(The Encyclopaedia Britannica, CD-ROM, 1997).

Menurut English Common Law : "... seluruh tanah milik seorang wanita pada waktu ia kawin akan menjadi milik suaminya. Suami berhak atas uang sewa dan keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan perkebunan atau tanah milik istrinya selama kedua suami istri itu masih hidup. Lama kelamaan pengadilan Inggris menciptakan peraturan untuk melarang suami memindahkan tanah milik istrinya tanpa persetujuan istrinya; tapi suami masih tetap memegang hak untuk mengurus dan menerima uang yang dihasilkannya. Mengenai harta pribadi istri, suami berkuasa sepenuhnya. Ia berhak membelanjakannya dengan cara yang dipandangnya baik".

Baru pada akhir abad ke-19 situasi mulai membaik. "Dengan serangkaian undang-undang yang dimulai dengan undang-undang Harta Milik Wanita Berkeluarga pada tahun 1870, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1882 dan 1887, wanita-wanita yang kawin memperoleh hak untuk memiliki harta benda dan mengadakan kontrak-kontrak perjanjian dengan derajat yang sama dengan wanita-wanita yang belum/tidak kawin, janda-janda dan wanita-wanita yang bercerai". Pada abad ke-19, Sir Henry Maine, seorang yang memiliki otoritas dalam bidang hukum kuno, menulis: "Tak ada satu masyarakat pun yang bernaung di bawah lembaga yang bercorak Kristen, yang dapat mengembalikan kebebasan pribadi wanita-wanita yang berkeluarga, yang pernah diberikan kepada mereka oleh Hukum Romawi Pertengahan". (David and Vera Mace, Marriage: East and West, hal.81).

Dalam essainya tentang "Penguasaan atas Wanita", John Stuart Mill menulis: "Kepada kita terus menerus dikatakan peradaban dan agama Kristen telah mengembalikan hak-hak kaum wanita dengan adil; namun sementara itu sang istri masih tetap merupakan budak suaminya yang sebenarnya; sepanjang yang menyangkut kewajiban hukum, kedudukan wanita tak lebih dari mereka yang umumnya disebut sebagai budak". (Ibid, hal.82-83).

Sebelum kita beranjak kepada ajaran-ajaran Qur'an tentang kedudukan kaum wanita, beberapa ajaran Bibel mungkin bisa dikutip untuk lebih menjelaskan masalah ini, dan dengan demikian memberikan dasar yang lebih kuat untuk suatu penilaian yang tidak memihak. Dalam hukum Musa, seorang istri dapat diperoleh dengan cara melakukan betroth. Menjelaskan konsep ini Encyclopaedia Biblica menyatakan : Mem-betroth seorang istri untuk diri seseorang hanyalah berarti memilikinya dengan membayar uang pembeliannya; wanita yang di-betroth adalah seorang gadis yang telah dibayar uang pembeliannya. Dari sudut pandangan hukum, persetujuan gadis tersebut tidaklah diperlukan untuk mengesahkan perkawinannya. "Persetujuan sang gadis adalah tak perlu dan keperluan untuk itu tak disebutkan di mana pun dalam hukum tersebut". (Encyclopaedia Biblica, CD-ROM, 1997).

Mengenai hak cerai, kita baca dalam Encyclopaedia Biblica: "Karena wanita adalah milik laki-laki, maka hak (suami) untuk menceraikannya adalah sesuatu yang sudah semestinya". Hak cerai hanya ada di tangan laki-laki. "Dalam hukum Musa perceraian adalah hak istimewa suami saja...".

Posisi Gereja Kristen sampai abad-abad terakhir ini tampaknya telah dipengaruhi oleh hukum Musa dan aliran-aliran yang dominan dalam kebudayaan-kebudayaan zamannya. David dan Vera Mace dalam buku, Marriage: East and West, hal.80-81, menulis: "Jangan sampai ada orang yang mengira bahwa warisan Kristen kita bebas dari penilaian-penilaian yang meremehkan wanita seperti itu. Sulit sekali menemukan di manapun kumpulan rujukan-rujukan yang lebih merendahkan kaum wanita daripada yang dikemukakan oleh Pemimpin-Pemimpin Gereja yang dulu-dulu.

Lecky, ahli sejarah yang termashur itu, berbicara tentang 'Dorongan-dorongan yang kuat yang mendorong terbentuknya bagian yang menyolok dan mentertawakan dari tulisan pemimpin-pemimpin ini...wanita dinyatakan sebagai pintu neraka, sumber dari seluruh kejahatan-kejahatan manusia. Wanita harus merasa malu, semata-mata mengingat bahwa ia adalah wanita. Wanita harus hidup dalam pertaubatan yang terus menerus atas kutukan yang diakibatkannya bagi dunia. Wanita harus malu akan pakaiannya, karena itu adalah kenang-kenangan kejatuhannya. Wanita utama harus merasa malu akan kecantikannya, karena itu adalah alat iblis yang paling ampuh'.

Salah satu serangan yang paling menusuk perasaan kaum wanita dilakukan oleh mazhab Tertulian: 'Tahukah kamu semua bahwa setiap kamu adalah seorang Hawa? Hukuman Tuhan kepada jenis wanita berlaku terus di masa sekarang: karena itu kesalahan wanita juga mesti tetap ada. Kamu semua adalah gerbang syetan: kamu semua adalah pembuka tutup pohon terlarang itu; kamu semua adalah penyeleweng-penyeleweng pertama dari hukum Tuhan; kamu semua adalah perempuan yang membujuk lelaki, yang iblis tak cukup berani untuk menyerangnya. Begitu mudah bagi kamu semua merusak citra Tuhan, yaitu manusia. Akibat pelanggaranmu - yaitu maut - bahkan Anak Tuhan pun harus mati'. Gereja tidak hanya menguatkan kedudukan rendah kaum wanita, tapi juga merampas hak-hak hukum yang mereka nikmati sebelumnya".(bersambung ke bagian 2)

Oleh : Ust. Syamsul Balda - Arsip Tim kaderisasi

  Index Rubrik Tarbiyah |   kirim ke teman |   versi cetak


Tidak ada komentar tentang artikel tarbiyah ini.

[ Back To Beranda ]



 
   
Top Download
Prestasi Pemkab Bekasi Saduddin (229)
Jadwal Kampanye Parpol (190)
Tadzkiroh Jabat Tangan (148)
RBT KAMPANYE PKS 2009 (103)

Headline News
Situs Dakwah :
Dakwatuna.com
Al-Ikhwan.net

Pemerintahan :
Presiden RI
LKBN Antara

Media Massa Nasional :
Indosiar News
Detik News
Media Indonesia News
Tempo News
Kompas News
Suara Merdeka News

 
DPD PK Sejahtera Kabupaten Bekasi © 2006
Jl. Perjuangan No.44 RT.02 RW.02 Desa Tambun Kec. Tambun Selatan, Bekasi
Telp. 021-88327165 - email : admin @ pks-kab-bekasi.org
Masukan, kritik dan saran bisa via SMS Admin ke 0857 1905 9415