8 PKS | DPD Kabupaten Bekasi
Rubrik : Tsaqafah
Beberapa Kaidah Dalam Mempelajari Ilmu Fiqh - 3
Jumat, 15 September 06 - by : Redaksi

PKS-Kab.Bekasi OnLine :

Bagian Ketiga : MEMBEDAKAN ANTARA IKHTILAF DENGAN BID�AH

Bab : IKHTILAF

� Dalam syariah Islam ada masalah2 yg bersifat prinsip (ushul), tetap (tsawabit), disepakati (mujma� �alaih); tetapi ada pula masalah2 yg bersifat cabang (furu�), tidak tetap (mutaghayyirat) dan diperselisihkan (mukhtalaf fihi). �

Masalah2 furu� dan mutaghayyirat adalah sesuatu yg tidak mungkin disepakati oleh para ulama sepanjang zaman, sehingga terjadilah ikhtilaf (perbedaan pendapat). Perbedaan pendapat ini (selama masih disandarkan pd dalil yg shahih) sepanjang terjadi pada masalah ijtihadiyyah, furu�iyyah, dan mutaghayyirat maka merupakan suatu rahmat ALLAH SWT yg tidak dapat dihapuskan. Sehingga disinilah diperlukan sikap lapang dada (rahbatush shadr), toleransi (tasamuh) serta tidak diiringi fanatisme (ta�ashshub), serta berupaya untuk memahami pendapat pihak lain yg berbeda dg kita.

Al-Ikhtilaf tentang suatu masalah sudah ada semenjak masa Nabi SAW, dan beliau SAW pun tidak menyalahkan kepada salah satu pihak, bahkan memberikan kebebasan bagi mereka untuk berikhtilaf sesuai dengan pendapat dan pemikirannya masing2 sepanjang masih berada dlm koridor syar�iyyah. Dalam masalah ikhtilaf ini terkadang harus diambil keputusan dimana semua kelompok harus menerima, dan masalah2 seperti ini biasanya adalah masalah teknis yg tdk disebutkan dlm nash al-Qur�an dan as-Sunnah.

Sehingga disinilah dibutuhkan syura� serta ada seorang pemimpin yg memutuskan kata akhir dari syura� tsb. Hal seperti ini pernah terjadi ketika para sahabat berselisih dalam menentukan keputusan berperang melawan Quraisy, apakah mereka harus bertahan di Madinah atau harus keluar ke Uhud. Dan akhirnya diputuskan berdasarkan suara mayoritas untuk pergi ke Uhud walaupun Nabi SAW cenderung untuk bertahan di Madinah.

Ikhtilaf lainnya adalah yg terkait dg pemahaman thd nash al-Qur�an dan as-Sunnah. Setelah perang Uhud ini Nabi SAW memerintahkan pd para sahabatnya agar : � Janganlah kalian shalat Ashar kecuali pd perkampungan bani Quraizhah (La tushalliyannal �ashra illa fi bani quraizhah)! � Maka semua sahabatpun melaksanakan perintah tsb, tetapi saat ditengah jalan waktu Ashar hampir habis, sehingga mereka perlu memutuskan apakah melaksanakan perintah nabi SAW atau melakukan shalat. Maka sebagian dari mereka tetap berpegang kepada zhahir (tekstual) pesan Nabi SAW dan tdk melakukan shalat melainkan setelah sampai ke bani Quraizhah, sementara sebagian yg lain berusaha memahami perkataan nabi SAW tsb secara kontekstual sehingga mereka melakukan shalat dg cepat lalu menyusul ke perkampungan bani Quraizhah. Ketika mereka semua melaporkan kepada Nabi SAW hal tsb, maka Nabi SAW tidak menyalahkan kepada salah satu kelompok.

Sebab2 bisa terjadinya Ikhtilaf Fiqh :


  1. Bisa karena nash as-Sunnah sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yg lain, sehingga kesimpulan ijtihad mereka menjadi berbeda. Seperti hadits ttg air 2 kullah (qullataini) tdk mengandung najis (hadits tsb dha�if) ttp tdk sampai berita kedha�ifan tsb pada Imam Syafi�i, sehingga beliau tetap menggunakan hadits tsb.
  2. Ada terjadi 2 nash atau lebih seolah2 bertolak-belakang antara nash tersebut, sehingga ada yg menggunakan metode jam�i (menggabungkan) ada yg menggunakan metode tarjih (menguatkan salah satu). Seperti hadits tentang hukumnya melabuhkan kain melewati mata kaki (isbal).
  3. Tidak ada penunjukan (dilalah) yg jelas, sehingga diambil dari umumnya nash atau melalui mafhum atau qiyas. Seperti ayat tentang Tidaklah menyentuh al-Qur�an kecuali mereka yg suci.. Suci dlm ayat ini bermakna musytarak (bisa berbagai arti), bisa berarti orang yg telah bersyahadah (muslim), bisa juga diartikan org yg telah berwudhu, bisa juga diartikan para malaikat yg suci.
  4. Perbedaan pemahaman bahasa Arab, diantaranya dg memahami bahasa tsb apakah perintah atau larangan. Lalu sebagian ulama mengartikan sebuah perintah berarti wajib, sementara sebagian yg lain mengartikannya sunnah, seperti hadits ttg memanjangkan jenggot. Begitu juga sebuah larangan ada yg mengartikannya haram dan ada pula yg mengartikannya makruh, seperti hadits2 tentang musik dan menggambar.
  5. Terjadi perbedaan pendapat terkait dg derajat keshahihan hadits, hal ini terutama terjadi pd nash2 yg bukan muttafaq �alaih (Bukhari Muslim), ada yg menguatkan/menshahihkan ada pula yg melemahkan/mendha�ifkan. Seperti hadits tentang qunut shubuh, membaca yasin bagi yg meninggal, dsb.
  6. Terjadi perbedaan pendapat terkait dg hadits ahad, ada yg menerima dan ada pula yg menolak. Seperti tentang turunnya Isa bin Maryam, Imam Mahdi, dsb.
  7. Pengaruh kultur budaya setempat dimana para ulama tsb tinggal. Contohnya Imam Syafi�i menulis kitabnya yg dinamakan qaulul qadim ketika ia tinggal di Iraq, dan membuat fatwanya yg baru yg dinamakan qaulun jadid saat beliau pindah ke Mesir, karena perbedaan kultur setempat.


ALLAHU ya'khudzu bi aydina ila ma fihi khairun lil Islami wal muslimin ...

Oleh : DR Salim Seggaff al-Juffry, MA.

8 PKS | DPD Kabupaten Bekasi : https://www.pks-kab-bekasi.org
Versi Online : https://www.pks-kab-bekasi.org/?pilih=lihattarbiyah&id;=85