PKS-Kab.Bekasi OnLine :
Motivasi Rohani
Motivasi Rohani adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan aspek kejiwaan dalam diri manusia. Ada tiga klasifikasi dalam motivasi rohani. Masing-masing saling berkaitan dan mempengaruhi.
Sentral: motivasi psikologis dan psikis.
Pada umumnya, para pakar psikologi modern berpandangan bahwa keberadaan motivasi-motivasi psikologis kebanyakan bukan melalui pemberian sejak lahir. Ia merupakan hasil proses interaksi dengan berbagai pengalaman, faktor lingkungan, dan kebudayaan. Meski demikian, para pakar ini tidak menolak adanya unsur-unsur bawaan.
Diantara jenis motivasi ini adalah:
Motivasi kepemilikan atau penguasaan
Motivasi ini merupakan motivasi psikologis yang dipelajari manusia ditengah pertumbuhan sosialnya. Ia belajar sejak masa kanak-kanak untuk menguasai dan memelihara mainannya. Dalam fase pertumbuhan, berkembang kecenderungan individu untuk memiliki. Ia berusaha mengakumulasi harta yang dapat memenuhi kebutuhan dan jaminan keamanannya, hingga masa yang akan datang.
Mengenai motivasi kepemilikan ini, Al-Qur'an menengarai:
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)". (QS. Ali Imran, 3:14).
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia�" (QS. Al-Kahfi, 18:46).
"Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan". (QS. Al-Fajr, 89:20).
"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya�" (QS. Al-Humazah, 104:1-3).
"Dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak, dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan alat bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.." (QS. Al-Hadid, 57:20).
Motivasi kerja dan berproduksi
Motivasi kerja dimiliki oleh setiap manusia, tetapi ada sebagian orang yang lebih giat bekerja daripada yang lain. Kebanyakan orang mau bekerja lebih keras jika tidak menemui hambatan dalam merealisasikan apa yang diharapkan. Selama dorongan kerja itu kuat, semakin besar peluang individu untuk lebih konsisten pada tujuan kerja. Ada juga yang lebih menyukai dorongan kerja tanpa mengharapkan imbalan, sebab ia menemukan kesenangan dan kebahagiaan dalam perolehan kondisi yang dihadapi dan dalam mengatasi situasi yang sulit.
Al-Qur'an memotivasi setiap muslim bekerja, dalam banyak ayatnya:"Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. At-Taubah, 9:105).
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". (QS. Al-Jumu'ah, 62:10).
Dalam kaitan dengan motivasi berproduksi, Al-Qur'an menjelaskan:"Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka, mengapakah mereka tidak bersyukur?". (QS. Yasin, 36:33-35).
Ketiga ayat tersebut menuntut manusia bersyukur kepada Allah atas berbagai nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Perwujudan dari rasa syukur tersebut adalah:
Pertama, hendaklah manusia bekerja didasarkan atas kepentingan berproduksi, sebagaimana dinyatakan ayat tersebut: "..dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka". Tetapi, meski manusia yang bekerja, usaha tersebut tetap disandarkan pada kehendak Allah dengan disertai memohon pertolongan-Nya.
Kedua, lingkungan adalah anugerah Allah yang menyediakan hal-hal yang dapat membantu manusia dalam kehidupannya, apabila anugerah Allah ini disertai kesiapan berkarya yang disediakan pula baginya sejak pertumbuhannya. Keterampilan (usaha tangan) dalam pertanian adalah pilar yang kokoh dan asasi dalam perolehan hasil-hasil pertanian.
Dengan demikian seorang muslim tidak dibenarkan bersikap Fatalistis (bersikap menunggu tanpa berusaha). Sebab faham Fatalisme adalah jalan yang negatif dalam klehidupan. Islam hanya mengenal konsep tawakkal kepada Allah, tetapi sama sekali tidak menerima fatalisme. Tawakkal pada Allah berarti mendaya gunakan seluruh potensi untuk memikirkan keselamatan, mempertimbangkan berbagai alternatif, dan memilih yang terbaik untuk diimplementasikan
Atas dasar itu, ada tiga unsur yang menjadikan hidup manusia itu berguna. Pertama, mengimplementasikan potensi kerja yang dianugerahkan Allah. Kedua, bertawakkal kepada Allah, dan memohon pertolongan-Nya ketika melaksanakan pekerjaan. Ketiga, beriman kepada Allah untuk menolak bahaya, kediktatoran, arogansi dan kesombongan atas prestasi yang dicapai.
Tujuan aktivitas kerja manusia pada sistem sekular adalah meraih laba sebesar-besarnya untuk menjadi masyarakat yang elitis, seperti yang diharapkan oleh kapitalisme. Atau, mengimplementasikan kelayakan materi secara rata bagi seluruh masyarakat sebagaimana dikehendaki oleh sosialisme. Tujuan material semacam ini ternyata mendatangkan berbagai konflik diantara sistem-sistem ekonomi sekular. Apalagi, sistem-sistem itu berupaya untuk saling mendominasi.
Konsep Islam tentang dunia sebagai ladang akhirat, memposisikan kepentingan materi bukan sebagai tujuan, namun sebagai sarana merealisasikan kesejahteraan manusia. Allah swt berfirman:
"Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri Akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi". (QS. Al-Qashash, 28:77).
Karenanya, syari'at Islam mempunyai kebijakan tersendiri yang tidak berlandaskan pada individualisme seperti dalam sistem kapitalisme, atau kolektivisme seperti dalam sistem sosialisme. Dasar kebijakan Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara kepentingan individu dan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Al-Qur'an: "Dan demikianlah Kami jadikan kamu sebagai umat pertengahan (wasathan)". (QS. Al-Baqarah, 2:143).
Kendati kapitalisme memberi kebebasan mutlak bagi individu dalam menjalankan aktivitas ekonomi, ternyata konsep kebebasan mereka mengandung kelemahan mendasar. Kelemahan itu diantaranya: pengalihan kegiatan manusia hanya pada perolehan keuntungan sebanyak mungkin tanpa mempedulikan kebutuhan pokok masyarakat, adanya problema pengangguran, dan krisis ekonomi. Pada kenyataannya, manusia berbeda dalam kemampuan bakat sehingga melahirkan dominasi kelompok kuat terhadap yang lemah yang menyulut kesenjangan sosial dan konflik antar kelas.
Sedangkan sosialisme menjadikan kepentingan masyarakat sebagai tujuan, memprioritaskan kepentingan kelompok daripada individu, dan individu dijadikan jeruji bagi roda kelompok. Negara ikut campur dalam aktivitas ekonomi dan menguasai sebagian besar alat produksi dengan tujuan memenuhi kebutuhan umum, mengatasi pengangguran dan krisis ekonomi. Namun ideologi ini mencatat beberapa kelemahan, yakni: lemahnya semangat, gairah dan kompetisi individu, munculnya kesulitan-kesulitan dan tekanan-tekanan, dominasi kaum birokrat, dan lenyapnya kebebasan individu yang merupakan inti kehidupan manusia.
Adapun sistem "pertengahan" Islam didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kelompok. Prinsip ini telah dinyatakan Al-Qur'an: "Tidak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi" (QS. Al-Baqarah, 2:279), dan diperjelas Rasulullah saw dalam kaidah syar'iyah, yakni: "Tidak merugikan diri sendiri dan tidak merugikan orang lain", atau: "Tidak membahayakan diri sendiri dan tidak membahayakan orang lain".
Islam amat menekankan prinsip "pertengahan" yang memungkinkan kehidupan berjalan secara serasi dan damai. Mengintegrasikan pemikiran dan keyakinan serta sikap dan tindakan. Tidak memisahkan antara moral individu dan hubungan sosial. Menolak kerancuan atau kontradiksi kepribadian. Menolak sikap boros dan kikir.
Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan dan kenikmatan yang baik dapat berubah menjadi ibadah jika disertai niat tulus untuk menjaga anugerah hidup dan memanfaatkannya, serta menghormati kehendak Sang Pemberinya. Jika iman merupakan ruh amal, maka amal merupakan tubuh iman. Memisahkan keduanya akan menghasilkan bentuk kehidupan yang timpang.
Orang yang beriman tetapi tidak bekerja, maka ia hidup dalam kehampaan dan kelumpuhan, tidak ada hasil konkrit dalam hidupnya, dan tidak ada tanda-tanda keimanannya. Sebaliknya, orang yang bekerja tanpa iman akan hidup seperti robot dan tidak mampu merasakan eksistensi nilai-nilai dibalik penciptaannya. Islam menetapkan bahwa amal tanpa iman adalah perjuangan sia-sia, bagaikan debu berhamburan ditiup angin kencang.
Allah swt berfirman: "Orang-orang yang kafir kepada Rabb-nya, amalan-amalan mereka adalah seperti debu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Demikian itu adalah kesesatan yang jauh". (QS. Ibrahim, 14:18).
Dalam pengertian umum, amal dalam Islam merupakan aktivitas terpenting bagi seorang Muslim dalam kehidupan di dunia. Karena itu, konsep ini (dipadankan dengan iman) dijelaskan ratusan kali dalam Al-Qur'an. Setiap penjelasan tentang iman selalu dibarengi penjelasan tentang amal saleh. Bagaimana amal muslim menurut Allah? Kebaikan amal muslim menurut-Nya adalah jika disertai dengan pencarian keridlaan Allah. Seseorang tidak akan menerima keridlaan-Nya kecuali jika ia memegang komitmen terhadap petunjuk-Nya. Petunjuk Allah yang diberikan kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya bertujuan membimbing mereka merealisasikan keuntungan di dunia dan akhirat. Jadi, amal dalam Islam dalam berbagai bentuknya mempunyai tujuan ganda, yakni mendapatkan keuntungan di dunia dan akhirat.
Dalam perspektif Islam, aktifitas perekonomian (kerja) harus disertai komitmen untuk mematuhi petunjuk Allah yang digariskan Al-Qur'an dan dijabarkan As-Sunnah. Allah SWT berfirman: "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". (QS. Al-Jum'ah, 62:10).
"Barangsiapa yang mencari harta duniawi dengan cara yang halal untuk menghindarkan diri dari meminta-minta (menyandarkan diri pada bantuan orang lain), dan untuk berbuat baik kepada tetangganya, maka ia akan menemui Allah dengan wajah bersinar seperti bulan purnama". (HR. Baihaqi).
Islam telah menetapkan kerja bagi seorang muslim sebagai hak sekaligus kewajiban. Islam memerintahkan bekerja dan menganjurkan agar pekerjaan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Rasulullah SAW berpesan agar seorang muslim berlaku adil dalam menetapkan gaji dan menepati pembayarannya. Pekerja yang menjalankan tugas dengan baik dihargai dengan gaji yang seimbang. Demikian pula, ia berpesan agar para pemimpin tidak merugikan para pekerja dalam bentuk apapun, termasuk tidak membebani pekerja diluar kemampuannya.
Prinsip pertama yang ditegakkan Islam dalam mengatur masyarakat ialah agar setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Vertikal: motivasi spiritual dan transendental
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan fitri yang pemenuhannya sangat tergantung pada kesempurnaan pertumbuhan kepribadian dan kematangan individu. Terpenuhinya kebutuhan spiritual ini sangat berpengaruh pada pembentukan konsep diri, yang pada gilirannya akan mewujud dalam tingkah laku seseorang pada kesehariannya.
Para pakar psikologi modern tidak memberikan perhatian pada studi-studi dimensi spiritual manusia dan kebutuhan-kebutuhan pokok tingkat tinggi (transendental). Padahal kebutuhan ini mempunyai kedudukan terpenting dan tertinggi, yang melebihkan manusia dari seluruh ciptaan Allah yang lain. Komitmen para ilmuwan psikologi modern terhadap penerapan metode ilmiah dalam studi manusia, mendorong mereka membatasi objek perhatiannya pada studi dimensi-dimensi tingkah laku manusia yang tunduk pada penelitian objektif dan eksperimental. Sehingga mereka menjauhi penelitian dimensi tingkah laku manusia yang berhubungan dengan masalah spiritual. Mereka mengenyampingkan studi ini secara total.
Erich Fromm mengkritik psikologi modern yang terlampau menekankan dimensi luar tingkah laku manusia dan mengabaikan studi mengenai problem utama manusia, nilai-nilai tinggi kemanusiaan, dan dimensi-dimensi spiritualitas. Menurut Fromm, survei-survei membuktikan bahwa kebanyakan negara-negara Eropa yang demokratis, aman, dan makmur, demikian pula Amerika Serikat yang menguasai ekonomi dunia, merupakan negara-negara yang selalu mengalami kenaikan prosentasi kegoncangan jiwa. Sehingga Fromm bertanya-tanya: "Apakah tidak mungkin bahwa dalam sistem kehidupan kita terdapat suatu kerusakan yang mendasar, dan jangan-jangan tujuan utama yang ingin kita capai salah?".
Data statistik menunjukkan bahwa hidup manusia tidak semata-mata untuk makan. Peradaban modern belum tentu dapat menjanjikan ketenteraman jiwa serta memenuhi sebagian kebutuhan manusia yang dalam dan tersembunyi. Jika persoalannya demikian, maka bagaimana dengan kebutuhan-kebutuhan jenis ini?.
Sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan spiritual merupakan asas. Seharusnya psikologi modern juga memperhatikan nilai spiritual, berusaha mendalami, menanamkan, dan menyusun dasar-dasar moralitas manusia. Sesungguhnya parameter moral terfokus pada sifat-sifat dasar dalam diri manusia. Dengan adanya berbagai perbedaan parameter ini, timbullah kegoncangan jiwa dan emosi manusia.
Motivasi spiritual merupakan dorongan psikis yang mempunyai landasan alamiah dalam watak kejadian manusia. Dalam relung jiwanya, manusia merasakan adanya suatu dorongan yang mendorongnya untuk mencari dan memikirkan Sang Penciptanya dan Pencipta alam semesta. Juga mendorongnya untuk menyembah-Nya, memohon kepada-Nya, dan meminta pertolongan kepada-Nya setiap kali ia tertimpa malapetaka dan bencana hidup. Dalam perlindungan-Nya ia merasa tenang dan tenteram.
Yang demikian ini bisa kita temukan dalam tingkah laku manusia dalam setiap masa dan dalam berbagai masyarakat. Hanya saja konsepsi manusia, dalam berbagai masyarakat sepanjang sejarah, tentang tabiat Tuhan dan jalan yang ditempuhnya dalam menyembah-Nya berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemikiran dan perkembangan budayanya. Namun perbedaan-perbedaan ini sesungguhnya adalah perbedaan-perbedaan dalam mengekspresikan motivasi spiritual tersebut.
Al-Qur'an menyatakan bahwa motivasi spiritual merupakan dorongan yang alamiah. Firman Allah swt: "Maka hadapkanlah wajahmu yang lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS. Ar-Rum, 30:30).
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" . Mereka menjawab:"Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersumpah". (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari Kiamat kamu tidak mengatakan:"Sesungguhnya kami (bani Adam) tak tahu apa-apa tentang hal itu". (QS. Al-A'raf, 7:172).
Dari sini tampak jelas bahwa dalam tabiat manusia terdapat kesiapan alamiah untuk memahami ke-Maha Penciptaan Allah dan menjadikannya sebagai bukti tentang eksistensi Allah dan keesaan-Nya. Jadi, pengakuan terhadap kedudukan Allah sebagai Tuhan tertanam kuat dalam fitrahnya dan telah ada dalam relung jiwanya sejak zaman azali. Namun perpaduan ruh dengan jasad; kesibukan manusia dengan berbagai tuntutan jasadnya; dan tuntutan-tuntutan kehidupannya di dunia; telah membuat pengetahuannya akan kedudukan Allah sebagai Tuhan dan kesiapan alamiahnya untuk mengesakan-Nya tertimpa kelengahan dan kelupaan. Tersembunyi dalam relung bawah sadarnya.
Maka manusia pun menjadi perlu akan pengingat kesiapan alamiahnya ini, pembangun dari keterlenaannya, dan pembangkitnya dari relung bawah sadarnya sehingga menjadi jelas dalam kesadaran dan perasaannya. Ini dapat dilakukan melalui interaksi manusia dengan ayat qauliyah yang secara tekstual termaktub dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits; maupun ayat kauniyah, yang secara kontekstual berupa alam semesta, perenungan terhadap fenomena keajaiban ciptaan Allah dalam dirinya sendiri, dalam semua makhluk Allah dan seluruh alam semesta, makrokosmos maupun mikrokosmos; juga perenungan terhadap fenomena sosial masyarakat.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul-Albab (orang-orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. Ali 'Imran, 3:190-191).
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku". (QS. Al-Baqarah, 2:152).
Horizontal: motivasi sosial dan aktualitas
Kebutuhan sosial dan aktualitas ini lebih rumit daripada kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan kematangan intelektual seseorang. Misalnya, afiliasi dan cinta, pengakuan dan penghargaan, kompetisi, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ini memainkan peranan cukup penting dalam manajemen untuk membangkitkan motivasi para pekerja.
Kebutuhan sosial dan aktualitas berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, bahkan terkadang bertentangan. Terkadang seseorang merasa perlu beraktualisasi diri, karenanya ia senantiasa menekankan hal itu dalam segala hal sehingga tampil berbeda dengan yang lain. Ada juga yang memilih bertoleransi dengan orang lain.
Motivasi sosial
Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu terdorong untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi dalam suatu komunitas. Proses sosialisasi ini akan melahirkan berbagai dorongan dan kebutuhan tertentu, seperti afiliasi, aktualisasi, kompetisi, yang akan berpengaruh positif dalam peningkatan etos kerja karyawan. Pengabaian terhadap kebutuhan ini, terutama pada masyarakat tertentu, akan berakibat fatal bagi manajemen.
Allah SWT berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (QS. Al-Hujurat, 49:13).
Motivasi berkompetisi
Berkompetisi (berlomba-lomba) merupakan dorongan psikologis yang diperoleh dengan mempelajari lingkungan dan kultur yang tumbuh di dalamnya. Pendidikan yang diterimanya mengantarkannya pada aspek-aspek dimana kompetisi dipandang baik, demi kemajuan dan perkembangannya dan sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat dimana seseorang itu hidup. Terkadang seseorang belajar, dari kultur dimana ia hidup, kompetisi dalam ekonomi, politik, keilmuwan, kebudayaan, sosial, dan sebagainya.
Al-Qur'an sendiri memberi dorongan kepada manusia agar berkompetisi dalam: ketaqwaan, amal shalih, berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur, dan mengikuti manhaj Ilahi dalam kehidupan, baik dalam hubungan mereka dengan Sang Pencipta, dalam hubungan kekeluargaan mereka, dan dalam hubungan mereka dengan masyarakat atau komunitas dimana ia berada. Ini semua agar mereka bisa memperoleh karunia dan keridlaan Allah SWT dan menerima kenikmatan masuk surga. Firman-Nya:"Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu". (QS. Al-Ma'idah, 5:48).
Intelektual
Setiap manusia diberi kelebihan Allah dibanding makhluk lannya dengan akal budi dan kemampuan berfikir yang memungkinkannya untuk mengadakan tinjauan dan pembahasan terhadap berbagai hal dan peristiwa, menyimpulkan hal-hal yang umum dari bagian-bagian dan merumuskan berbagai kesimpulan dari premis-premis. Kemampuan manusia untuk berfikir inilah yang membuatnya patut diberi kewajiban untuk melaksanakan berbagai ibadah dan memikul tanggung jawab pemilihan dan kehendak. Ini pulalah yang membuatnya layak menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Informasi yang diperoleh seseorang melalui panca indera pada periode pertama dari kehidupannya merupakan materi yang membantunya nanti dalam caranya berfikir. Ia akan mereproduksi informasi-informasi itu dalam ingatannya, mengimajinasikannya, memperbandingkannya antara satu sama lainnya, dan menyusunnya dalam bentuk baru yang membantunya untuk memperoleh informasi-informasi baru. Informasi-informasi tersebut yang diperoleh manusia dalam proses berfikirnya itu disimpan dan digabungkan dengan perbendaharaan informasinya.
Secara terus-menerus, manusia mengadakan pengorganisasian informasi-informasi lama dan memperoleh berbagai informasi dan realitas baru. Inilah landasan perkembangan pembahasan ilmiah sepanjang sejarah, dan penyebab terjadinya kemajuan yang terus menerus dalam ilmu pengetahuan, baik ilmu teoritis ataupun terapan.
Allah sendiri telah memberi dorongan kepada manusia untuk memikirkan fenomena di alam semesta, mengadakan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, merenungkan keindahan ciptaan-Nya dan mengungkapkan hukum-hukum-Nya di alam semesta. Seruan untuk mengadakan tinjauan, pemikiran, penelitian dan pembahasan ilmiah bisa kita temukan dalam banyak ayat, diantaranya:
"Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (dunia) dari permulaannya.." (QS. Al-Ankabut, 29:20).
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan".(QS. Al-Ghasyiah, 88:17-21).
"Katakanlah: "Perhatikanlah fenomena yang ada di langit dan di bumi..". (QS. Yunus, 10:101). Lihat juga dalam QS. Al-Hajj, 22:46; Al-A'raf, 7:185; Yunus, 10:101; Al-Baqarah, 2:164; Al-An'am, 6:99; 'Abasa, 80:24-32. Terkait dengan dorongan untuk memikirkan dirinya sendiri, yakni tentang dimensi fisiologis dan psikis: QS. Ar-Rum, 30:8; At-Thariq, 86:5-7; Fushshilat, 41:53.
Seruan Al-Qur'an pada manusia untuk berfikir tampak jelas dari banyaknya ayat-ayat yang memuat ungkapan-ungkapan berikut: "apakah kamu tidak memikirkan?", "apakah mereka tidak berfikir?", "agar kamu mengerti", "agar kamu berfikir", "jika kamu memahaminya", "jika kamu berfikir", "apakah mereka tidak memikirkan?", "agar mereka memikirkannya", "apakah mereka tidak merenungkannya?", "apakah mereka tidak mengambil pelajaran?", "bagi kaum yang berfikir", dan "bagi kaum yang mengerti".
Lebih jauh lagi, dalam Al-Qur'an juga diuraikan tentang pentingnya berfikir dalam kehidupan manusia. Pun ditinggikannya nilai manusia yang mempergunakan akal budi dan pemikirannya, dan direndahkannya martabat manusia yang tidak mempergunakan akal budi dan pemikirannya dan menjadikannya lebih rendah daripada hewan.
"Sesungguhnya makhluk (hewan) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apapun". (QS. Al-Anfal, 8:22).
"Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya". (QS. Al-Furqan, 25:44).
(bersambung bagian 3)
Oleh : Syamsul Balda - Arsip Tim Kaderisasi |